Pengentasan Kemiskinan dalam Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi

DR. Ilham Kadir
Sumber :
  • Istimewa

 

Pendobrak benteng kejumudan, penghancur sekularisme, pemantik ruh jihad.

Tinta penanya selalu aktual, mengangkat tema yang masih samar oleh para penulis, menyingkap tabir  gelap, menerangkan yang redup, menjelaskan yang samar, memudahkan yang sulit. Penyatu antara mazhab tekstual dengan kontekstual, salaf dan khalaf.

Merangkul semua golongan yang layak dirangkul. Tegas dalam berpendapat, menyesatkan yang memang sesat seperti Syiah sembari meneguhkan Ahlussunnah wal-Jama'ah. Ulama sekaligus intelektual, akademisi sekaligus aktivis, manusia yang talentanya multi dimensi, merupakan contoh ilmuan polimatik atau serba menguasai segala bidang.

Dia adalah Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, yang wafat 27 September 2022, di umurnya yang ke-96 tahun. Demi mengenang jasa-jasanya, maka saya angkat artikel singkat ini. Amma ba'du!

Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana dengan nama lengkap Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf, yang kemudian populer dengan sebutan Yusuf Al-Qaradhawi, di sebuah Desa Shaft al-Turaab, tepatnya pada 9 September 1926 di bagian Barat Mesir.

Ayahnya, Abdullah, adalah anak dari seorang pedagang, Haji Ali Al-Qaradhawi. Mengutip cerita pamannya bahwa nenek moyang dari pihak ayahnya ini dahulu berasal dari sebuah daerah yang bernama al-Qaradhah, dan namanya dihubungkan dengan nama daerah tersebut. Sehingga ia dikenal dengan panggilan Al-Qaradhawi (huruf ra dibaca dengan baris di atas) dan bukan al-Qardhawi (dengan dimatikan huruf ra), seperti yang biasa diucapkan oleh orang-orang Syam.

Saya juga baru paham kalau penyebutan Al-Qardhawi yang selama ini umum dipakai orang Indonesia adalah keliru setelah ditegur promotor ketika ujian doktoral di Sekolah Pascasarana UIKA Bogor, Dr. Syamsuddin Arif.

Seperti telah saya lukiskan bahwa Al-Qaradhawi adalah ulama polimatik sehingga semua karyanya, yang berjumlah 200 itu, ditulis dengan kaya referensi, analisa yang tajam, tekstual-kontekstual, ma'tsur wa ma'qul. Salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah disertasinya ketika menyelesaikan doktoral di Universitas Al-Azhar, Mesir dengan judul "Fiqh al-Zakah", atau "Fikih Zakat".

Penelitian ini ia pertahankan di depan promotor dan penguji pada tahun 1973, dalam sejarahnya, inilah karya Al-Qardhawi yang terlama ia garap, yakni 13 tahun, padahal rencana awalnya hanya 2 tahun, hal ini terjadi karena pada waktu yang sama Al-Qaradhawi menjabat berbagai jabatan strategis di berbagai negara terkait dengan pengembangan keilmuan.

Pada tahun 1977, Al-Qaradhawi menerbitkan buku sederhana, versi lain, buku ini terbit tahun 1966, jika ditelaah lebih dalam dan saksama dengan tempo singkat, buku ini hanya serpihan-serpihan dari disertasinya "Fiqh al-Zakah". Buku mungil ini ia tulis dengan judul "Musykilah al-Faqr wa kaifa 'Alajaha al-Islam, Cetakan pertama oleh Maktabah Wahbah, Cairo 1977, jika diterjemahkan secara etimologi "Masalah Kemiskinan dan Bagaimana Islam Mengatasinya?".

Penerjemah buku ini, Syafril Halim memberi judul "Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan", diterbitkan oleh Gema Insani Press,  cetakan perdana Indonesia naik catak pada tahun 1995. Buku ini juga jarang dibahas dan dijadikan rujukan para penggiat ekonomi Islam khususnya zakat, infak, dan sedekah sebab dianggap terwakilkan dari kitab "Fiqh al-Zakah". Dalam edisi Indonesia, buku ini setebal 187 halaman, dalam versi Arab hanya 160, terdiri dari lima bab. 

Didahului dengan bab pertama "Sikap Manusia Terhadap Kemiskinan", bab kedua "Pandangan Islam terhadap Kemiskinan", bab ketiga "Berbagai Sarana untuk Menghapus Kemiskinan", bab keempat "Persyaratan Mutlak" dan bab kelima "Kemenangan Islam atas Kemiskinan". Di antara lima bab ini, saya hanya akan mengulas bab kedua, lebih khusus lagi pada sub bab kedua yakni, 'Tanggungjawab Negara dalam Mengunpulkan Zakat', pada sub ini terdapat lima poin penting yang dipaparkan  Al-Qaradhawi dengan runut  bahwa negara wajib menjadi amil, atau mendirikan lembaga zakat dengan berlandas pada dalil  ayat al-Qur'an, Sunnah Nabawiyah, Fatwa Para Sahabat. Selain itu wajib pula paham 'Berbagai Rahasia Zakat',  dan 'Batul Mal Zakat'.

Al-Qaradhawi menulis, Manusia bukanlah pemilik harta secara hakiki. Ia sekadar dipercaya oleh pemilik yang asli yakni Allah ta'ala, manusia hanya sebagai sekadar penerima titipan. Ia telah menciptakan dan membagikan harta kepada segenap umat manusia, maka manusia wajib mematuhi perintah Sang Pemilik dan Pemberi rezeki dengan menafkahkan sebagian harta miliknya, sedikit ataupun banyak. Zakat merupakan kewajiban yang telah ditetapkan Allah untuk orang-orang miskin dan mereka yang berhak menerimanya. Karena itu, kewajiban ini tidak gugur dengan melalaikannya selama setahun atau lebih. Imam Syafi'i melihat--lanjut Al-Qaradhawi--bahwa zakat adalah satu kewajiban yang berhubungan dengan materi harta tersebut. Pemilik harta tidak boleh mengutak-atiknya.

Orang miskin dianggap berserikat dengan pemilik harta itu dan memiliki hak seukuran zakat. Kalau si pemilik menjual harta zakat yang sudah lewat satu tahun sebelum mengeluarkan zakatnya, maka batallah jual belinya yang seukuran zakat tersebut. Walau orang miskin meninggal dunia sebelum ia menerima zakat, bagiannya diserahkan kepada ahli waris si miskin.

Senada dengan Syafi'i, Abu Muhammad Ibn Hazm sebagaimana dinukil Al-Qaradhawi, berkata, Jika dalam harta seorang ada  dua kewajiban zakat atau lebih, sementara pemiliknya masih hidup, zakat tersebut dibayarkan sesuai dengan ukuran wajibnya dan tahun keterlambatannya.

Mungkin saja keterlambatan itu terjadi karena usaha untuk menghindari kewajiban zakat, kelalaian petugas pengumpul zakat, atau sebab lain. Ketentuan ini berlaku bagi zakat harta, hasil pertanian, maupun hewan ternak. Baik semua hartanya wajib dikeluarkan zakatnya maupun tidak, dan tidak boleh melunasi utangnya sebelum bayar zakat. 

Bagi Al-Qaradhawi, dengan berlalunya waktu pajak bisa gugur, namun lain halnya dengan zakat. Ia tetap merupakan utang yang harus dibayar, seorang muslim tidak akan lepas tanggungjawabnya, tidak sah Islamnya dan tidak benar imannya kecuali bila menunaikan zakat tersebut sekalipun sudah lewat beberapa tahun. Sebab zakat adalah hak Allah, kaum fakir miskin, dan masyarakat secara keseluruhan. Di samping itu, zakat tidak gugur dengan meninggalnya pemilik harta, tapi tetap wajib dikeluarkan dari peninggalan almarhum sekalipun ia tidak mewasiatkan. Inilah pendapat ulama sekaliber Qatadah, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Ibnu Munzir, dan lainnya.

Al-Qaradhawi juga mengkritik teori sosialisme dalam memecahkan masalah kemiskinan. Katika kaum sosialis mencoba memecahkan masalah kemiskinan, mereka mengambil sikap ekstrem dengan menghasut mereka, "Kalian adalah korban pencurian. Yang mencuri harta kalian adalah orang-orang kaya,". Kata Al-Qaradhawi, kaum sosialis ini menghasut para orang-orang miskin untuk memusuhi kaum kaya kemudian menguasai harta mereka secara legal maupun tidak. Padahal, menurut Al-Qaradhawi tidak semua orang miskin adalah korban pencurian, dan tidak semua orang kaya adalah pencuri. Tidak semua penderitaan orang miskin disebabkan oleh orang kaya. Sebagian dari mereka sengsara karena kalalaian sendiri. 

Menurut Al-Qaradhawi, salah satu strategi agama Islam dalam memecahkan persoalan kemiskinan yang terus menerus mendera negara-negara Islam atau berpenduduk muslim adalah  mengelola zakat dengan profesional. Karena harus profesional, maka zakat tidak bisa dan tidak dapat diurus secara sembrono dan apa adanya atau adanya apa, tetapi harus diurus oleh negara yang didahului dengan pijakan yang kuat berupa regulasi yang berpondasikan aturan-aturan agama. Dari Al-Qaradhawi di Mesir, meniup ruh semangat pengelolaan zakat secara profesional, sehingga terbentuklah Badan Amil Zakat Nasional atau kita kenal dengan BAZNAS di Indonesia. Al-Fatihah untuk Syekh Yusuf Al-Qaradhawi rahimahullah.

Enrekang, 28 September, 2022.