SDN 95,Lahan Sengketa, Bangunan Rusak, Potret Permasalahan Pendidikan Di Takalar Hancur

Aktifitas Pelajar SDN 95 Campagaya, Takalar, Sulsel bermain bola.
Sumber :
  • Muh Idris / Sulawesi.viva.co.id

SULAWESI.VIVA.CO.ID -- Kisah Nuryanti, seorang guru di SDN No. 95 Campagaya, Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, bercerita kondisi sekolah serta proses mengajar para murid ketika hujan. 

 

Ia menuturkan, jika sekolah yang seharusnya menjadi tempat nyaman bagi anak-anak menuntut ilmu, tidak berlaku di sekolahnya.

 

“Sudah tiga tahun kami bertahan dengan kondisi seperti ini. Kami berharap pemerintah segera memperhatikan sekolah SDN 95 Campagaya, terutama untuk pembebasan lahannya,” ungkap Nuryanti. Rabu (15/1/2025)

 

Guru yang sudah mengabdi selama tujuh tahun itu menjelaskan, jika sekolah tempatnya mengabdi berdiri diatas lahan sengketa,hingga menghambat proses perbaikan. 

 

"Ahli waris yang merasa punya hak,meminta pembebasan lahan terlebih dahulu sebelum sekolah direnovasi," jelasnya.

 

"Hingga kini, belum ada kepastian terkait penyelesaian sengketa tersebut, sehingga para siswa dan guru berjuang dalam segala kondisi agar proses belajar mengajar tetap terlaksana," sambung Nuryanti.

 

Kolase foto pelajar SDN 95 Campagaya belajar di luar ruangan.

Photo :
  • Muh Idris / Sulawesi.viva.co.id

 

Kata Nuryanti, siswanya harus belajar di dalam ruangan yang atap ditutupi tenda terpal. Balok kayu juga bisa saja menjadi ancaman marabahaya. 

 

Saat hujan turun, kondisi seluruh ruangan akan basah. Dari enam ruang kelas yang ada, kata Nuryanti, hanya dua yang dapat digunakan. Sisanya telah hancur.

 

“Saya kasihan sekali dengan anak-anak. Kalau hujan turun, mereka harus mencari tempat berteduh, bahkan terkadang belajar di masjid depan sekolah. Bagaimana mereka bisa belajar dengan tenang jika kondisinya seperti ini?”Bebernya.  

 

“Kami mengajar di bawah tenda. Ketika musim hujan datang, atap tenda tidak mampu melindungi kami. Air hujan masuk, membasahi bangku-bangku, sehingga kami harus berkumpul di satu ruangan. Kadang, kami bahkan belajar di teras. Plafon kelas sudah ambruk serta dinding yang retak. Sebagian besar ruangan tidak layak untuk digunakan."  lanjut Nuryanti.

 

Kondisi gedung sekolah SDN 95 Campagaya, Takalar, beratapkan terpal.

Photo :
  • Muh Idris / Sulawesi.viva.co.id

 

Ia juga menyampaikan, jika Kondisi ini juga sangat berpengaruh pada jumlah siswa yang mendaftar. 

 

Katanya, Sebelum sekolah mengalami kerusakan parah, jumlah siswa baru mencapai 28 hingga 30 orang setiap tahunnya. Namun kini, jumlahnya menurun drastis, menjadi 12 orang pertahun.  

 

“Orang tua siswa berpikir, bagaimana anak-anak mereka bisa belajar dengan nyaman di sekolah yang kondisinya seperti ini? Mereka akhirnya memilih sekolah lain yang lebih layak,” ujar Nuryanti dengan nada getir.  

 

Hal serupa yang disampaikan siswa kelas 6 SDN No 95 Campagaya.

 

Keyla, mengungkapkan kesedihannya. Kata Keyla Sejak ia duduk di bangku kelas 3, kondisi sekolahnya sudah seperti ini. 

 

Ruangan tidak bisa digunakan membuat ia dan teman-temannya sering merasa tidak nyaman belajar. 

 

“Kalau hujan, kami harus belajar bergantian dengan kelas lain atau ke masjid depan sekolah. Saya sangat berharap sekolah ini segera diperbaiki. Saya ingin belajar dengan tenang,” tutur Keyla.

 

Kolase foto pelajar SDN 95 Campagaya belajar di luar ruangan.

Photo :
  • Muh Idris / Sulawesi.viva.co.id

 

Dengan jumlah siswa mencapai 135 orang, sekolah ini hanya memiliki tujuh guru, satu operator, dan satu kepala sekolah. Mereka berjuang demi  pendidikan yang layak bagi anak-anak, meskipun fasilitas yang tersedia tidak memadai.  

 

“Kami hanya ingin anak-anak di sini mendapatkan pendidikan yang layak. Mereka adalah masa depan bangsa. Namun, dengan kondisi seperti ini, kami tidak tahu harus berbuat apa lagi,” kata Nuryanti penuh harap.  

Para guru dan siswa SDN 95 Campagaya berharap kepada pemerintah agar segera menyelesaikan sengketa lahan dan segera melakukan renovasi.

“Anak-anak ini tidak pernah meminta lebih. Mereka hanya ingin belajar. Kami memohon, tolong selamatkan masa depan mereka. Jangan biarkan mereka terus belajar dalam kondisi seperti ini,” pungkas Nuryanti, menutup percakapannya dengan linangan air mata. (*)