Rahasia Tazkiyatun Nafs

KH Bachtiar Nasir
KH Bachtiar Nasir
Sumber :

Surat Asy-Syam ayat 9

قَدۡ اَفۡلَحَ مَنۡ زَكّٰٮهَا

"Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)." 

Kata "Qad" pada ayat 9 surat Asy Syam yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti "sungguh telah". Ada penegasan di situ. Sangat beruntung, siapa atau orang yang menyucikan jiwanya. Kata "hā" ini, dhamir yang ada di ayat 7 surat Asy Syam. Pada ayat 9 dikatakan, sungguh sangat telah beruntung orang yang telah mensucikan jiwa itu. Kalau ayat 10, dan sungguh telah merugilah orang yang mengotori jiwa itu.

Jadi kalau kita berbicara jiwa, di dalam terminologi Islam yaitu jasad dan ruh. Walaupun tekanan pada ayat ini terkait penyucian jiwa. 

Saya kemarin sempat bertanya kepada para sahabat, apa jadinya jika kita bercermin di cermin yang retak? Imam Ghazali menggambarkan orang-orang yang kotor jiwanya seperti orang-orang yang bercermin di cermin yang retak.

Objek wajah kita dicermin itu tidak beraturan. Saya juga pernah bercermin di cermin yang retak. Bibir tidak simetris. Hidung di mana, mata bagaimana. 

Orang-orang yang jiwanya kotor, maka memandang sesuatu yang baik menjadi buruk. Celakanya ada intervensi syaitan di situ. Syaitan secara khusus, ada yang bekerja mengambil strategi yang paling strategis yaitu merusak jiwa, sebagai pusat sistem manusia yang bernama kalbu. Kalbunya dirusak.

Kalau kita lihat di surat An-Nas, yang memberikan waswas. Waswas bukan dalam arti bahasa Indonesia. Al waswasah. Yang kerjanya "yuwas wisu", itu adalah syaitan. Nama lain dari waswas adalah syaitan yang tentu bekerja merusak kalbu kita. 

Ketika kalbu kita kotor, yang buruk dipandang baik, yang salah dipandag benar, yang batil dipandang haq dan seterusnya. Bayangkan kalau ada diantara kita yang hidup dengan cara pandang seperti itu dalam kehidupan sehari-hari. Begitu banyak orang yang dibutakan oleh harta, dibutakan oleh tahta, dibutakan oleh LGBT.

Ketika kita dibutakan, objek yang kita tangkap dengan kalbu yang kotor itu menjadi kacau balau. Begitu pula di Tanah Suci ini, memandang bagaimana itu kain ihram. Kalau kita tidak sampai pada tingkatan batin, maka ia akan seperti kain handuk. Yang satu menjadi selendang yang satu jadi sarung. Namun bila hati kita bersih, maka kita akan memandang sebagai simbolisasi kain kafan. 

Beginilah Allah membimbing kita dalam berjalan menjumpai-Nya. Dibersihkan dulu kita dari cinta dunia. Dimajinasikan-Nya diri kita bahwa perjumpaan dengan Allah di dunia ini memang hanya melalui kalbu tanpa bisa menjumpai Dzat Allah, kalau mau berjumpa maka harus melalui kematian. Maka orang-orang yang sedang berihram tidak lagi harus dikafani bila wafat dalam haji karena kain ihramnya sudah mewakili kafannya.

Jadi kita benar-benar dilatih untuk "mati" sebelum mati. Menikmati kematian sebelum mati. Sehingga kita tidak perlu takut mati. Karena kematian sejatinya akan membuat kita kembali berjumpa dengan orang-orang yang telah wafat mendahului kita, yang pernah kita cintai dan pernah kita tangisi kematiannya. Itulah bila mata hati yang memandang kematian. Lebih dari itu, kematian adalah proses awal kehidupan. Tidak akan ada kehidupan tanpa ada kematian. 

Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan. Kedua kata ini tidak dapat dipisahkan karena kematian dan kehidupan adalah hal yang saling berkaitan. Contohnya adalah kehidupan kita. Kehidupan kita berasal dari benda mati, sesuatu yang tidak bernyawa. Dari tanah kemudian bertransformasi menjadi mani. Dari benda mati yang tidak memiliki unsur kehidupan sebelumnya. 

Jadi, tidak ada yang sebenarnya perlu ditakuti dari kematian. Bahan baku dari kehidupan adalah kematian. Kematian kita hari ini adalah titik awal kehidupan yang akan datang. Bahkan kalau kita menatap dengan mata hati,  maka kematian adalah perjumpaan dengan Sang Kekasih. 

Dialah Allah yang tidak akan boleh ada nama yang serupa dengan miliknya. Lafaz Jalallah adalah lafaz milik-Nya dengan segala dimensi kehebatannya. Alif lam lam ha menjadi Allah. Menjadi nama yang Allah sendiri menamakan diri-Nya dengan nama itu. Yang ketika nama itu disebutkan, maka tunduklah semua ciptaan-Nya di alam ini. Tak peduli siapa pun dan apa pun akan tunduk pada hukumnya. Allah, lalu disebutkan salah satu sifat-Nya. Laa Ilaaha Illahu.