Dibangun Sejak Tahun 1603, Kilas Balik Sejarah dan Filosofi Arsitektur Masjid Tua Katangka Gowa di Sulsel

Masjid Tua Al Hilal Katangka
Sumber :
  • Sulawesi.viva.co.id

SULAWESI.VIVA.CO.ID – Masjid Tua Al Hilal Katangka, atau lebih dikenal dengan nama Masjid Tua Katangka, merupakan salah satu masjid tertua di Sulawesi Selatan (Sulsel). Terletak di Jl. Syech Yusuf No 57, Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, masjid ini memiliki sejarah yang kaya dan penuh makna.

Dibangun pada tahun 1603, Masjid Tua Katangka menjadi saksi peradaban Islam di Butta Bersejarah ini. Tanggal pembangunan yang tercatat di dinding masjid menandai awal dari pengaruh Islam yang menyebar di wilayah ini.

Menurut Imam Besar Masjid Tua Katangka Gowa, Ustadz George Faisal, nama masjid ini diambil dari pohon Katangka yang digunakan sebagai bahan utama dalam pembangunan masjid. Selain itu, masjid ini dibangun atas perintah Raja Gowa ke-14, Mangarangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin.

Sebelum menjadi Sultan, Daeng Manrabbia, yang sebelumnya memeluk agama Islam melalui ajakan penyebar Islam asal Minangkabau, Dato Ribandang, diberi julukan Sultan Alauddin setelah menerima agama Islam.

Sultan Alauddin kemudian memerintahkan rakyatnya untuk mengikuti jejaknya memeluk agama Islam.

Filosofi dan Arsitektur Masjid Tua Katangka

Masjid Tua Katangka memiliki arsitektur yang unik dengan campuran berbagai gaya, seperti Tiongkok, Eropa, dan Jawa. 

Budayawan setempat menyatakan bahwa masjid ini sebenarnya telah ada jauh lebih awal sebelum 1903. 

Arsitektur masjid ini dibangun dengan tembok batu bata yang mengadopsi gaya Eropa, yang menunjukkan pengaruh dari bangsa Eropa, khususnya Portugis, yang memberikan ilmu dalam membangun masjid kepada Sultan Alauddin.

Setiap elemen arsitektur masjid memiliki filosofi mendalam. Empat tiang utama masjid melambangkan empat sahabat Nabi atau Khulafaurrosidin: Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. 

Kubah masjid yang terletak di atas bangunan utama mengadopsi gaya arsitektur Jawa dengan bentuknya yang mirip tumpeng, melambangkan ketuhanan yang memancar dari bumi.

Bentuk badan masjid yang bersegi empat seperti ketupat menggambarkan persatuan antara Raja dan rakyat. Pintu masjid yang berjumlah lima, dua di luar dan tiga di dalam, menggambarkan rukun Islam yang lima. 

Di dalam masjid, terdapat enam jendela, yang melambangkan rukun iman yang juga berjumlah enam.

 

Suasana di dalam Masjid tua AL Hilal Katangka, Kabupaten Gowa

Photo :
  • Sulawesi.viva.co.id

 

Salah satu elemen menarik adalah mimbar masjid yang dipengaruhi oleh budaya Cina. Hal ini menunjukkan pengaruh budaya asing, khususnya Cina, yang telah menjalin hubungan dagang dengan daerah tersebut. 

Bukti lainnya adalah sumbangan berupa keramik, guci, dan lainnya dari masyarakat Cina yang turut memperkaya masjid ini.

Masjid ini juga dilengkapi dengan dua tombak yang terletak pada mimbar. Tombak tersebut awalnya dipegang oleh prajurit yang ditugaskan untuk menjaga jalannya khutbah Jumat.

Hal ini dilakukan untuk menghalau jamaah yang memiliki pemahaman keliru yang berusaha merampas dan menggigit naskah khutbah yang ditulis di daun lontar untuk dijadikan jimat. 

Dua tombak ini, yang dipasang dengan bendera berwarna putih dan hijau bertuliskan "La ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah," juga memiliki kesamaan dengan model yang ditemukan pada masjid-masjid di Turki pada era Kekhalifahan Usmaniyah.

Masjid Tua Katangka juga memiliki prasasti di dalam mikrap yang ditulis dengan tinta emas, mengabadikan nama Raja Gowa ke-30, Maulana Sultan Abdul Rauf, yang merupakan Raja pertama yang merenovasi masjid ini.

Di sekitarnya, terdapat kompleks makam keturunan kerajaan Gowa, yang menambah nilai sejarah dan budaya tempat ini.

Selain itu, Masjid Tua Katangka dikelilingi oleh benteng sepanjang 3 km yang dibangun oleh Raja Gowa ke-9, yang juga memberikan kesan kuat tentang sejarah kejayaan kerajaan Gowa.

Masjid Tua Katangka bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai simbol kekuatan sejarah, budaya, dan peradaban Islam di Sulawesi Selatan.

Keberadaannya yang masih lestari hingga kini menjadi saksi bisu bagi perjalanan panjang agama Islam di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan. (*)