Azyumardi Azra, Syiah dan Liberalisme

DR. Ilham Kadir
Sumber :
  • Istimewa

Penting untuk diketahui bersama bahwa bagi Azra, tidak perlu ada perdebatan tentang eksistensi Syiah, Azra menulis.

"Sejak awal perlu ditekankan berkali-kali bahwa kaum Syiah adalah saudara kandung kaum Sunni. Lebih jauh lagi, kaum Syiah adalah bagian hakiki dari Islam. Bersama Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah atau Sunni, kaum Syiah adalah sayap-sayap Islam lainnya. Tentunya, ada lebih banyak persamaan daripada perbedaan di antara mereka karena keduanya benar-benar berasal dari sumber yang persis sama; mereka taat kepada ajaran-ajaran yang sama yang terkait dengan iman dan Islam," (Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan Hubungan dan Kerjasama, dalam "Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, Dicky Sofjan, [ed.]. Yogyakarta, Pascasarjana UGM, 2013: 5).

Azra melanjutkan, katanya, tidak perlu membesarkan perbedaan-perbedaan 'sepele' (furu'iyah) dalam konsep teologis dan praktek religius tertentu. Di samping itu, ada banyak tumpang-tindih dan pertukaran di antara kaum Sunni dan Syiah dalam banyak aspek religius, politis, sosial dan budaya. 

Pernyataan, pendirian, dan pendapat Azra di atas tentu menjadi 'madu' penuh khasiat bagi pemeluk, pendukung, dan relawan Syiah di Indonesia, sekaligus 'racun' bagi umat Islam yang sepaham dengan pendirian MUI. Jelas, dan sangat terang bahwa Ahlussunnah dan Syiah adalah dua aliran dalam agama Islam tidak mungkin bisa disatukan dalam aspek akidah dan syariat, ada pun muamalat, maka setiap orang bisa bermuamalat tanpa melihat latar belakang agama, ras, kasta sosial, pendidikan dan seterusnya. Bagi saya, Sunni dan Syiah laksana minyak dan air, walau sama-sama benda cair tapi tidak akan mungkin bersatu dalam akidah dan syariat yang merupakan ushul dalam ajaran agama Islam.

Contoh kecil, salah seorang ulama Syiah, Al-Kulaini berkata bahwa 'Semua umat Islam selain Syi'ah adalah pelacur'. Ulama lainnya, Mirza Muhammad Taqi berkata, 'Selain orang Syiah akan masuk neraka selama-lamanya. Meskipun semua malaikat, semua nabi, semua syuhada, semua shiddiq menolongnya, tetap tidak bisa keluar dari neraka', (Lihat, Tim Penulis MUI Pusat, Buku Panduan MUI: Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, 2013: 66). 

Kecuali itu, ajaran Syiah sangat narsis dan rasis, sebagaimana yang terdapat dalam 'doktrin thinah' yang mereka sebut "thinah al mu'min wal kafir", sebuah ajaran yang menyatakan bahwa dalam penciptaan manusia terdapat unsur tanah putih dan tanah hitam. Para penganut Syiah tercipta dari unsur tanah putih sedangkan Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah terbuat dari tanah hitam. Penganut Syiah yang tersusun dari tanah putih jika melakukan perbuatan maksiat dosanya akan dilimpahkan pada pengikut Ahlussunnah yang tersusun dari tanah hitam, sebaliknya pahala yang dimiliki oleh Ahlussunnah akan dilimpahkan kepada pengikut Syiah. Lihat misalnya, Al-Kulaini, 'Al-Kafi, Juz II/Kitab al-Imam, Bab 'Thinat al-Mu'min wal Kafir'. Banyak sekali contoh-contoh lain yang dengan mudah ditemukan dari referensi induk Syiah yang jelas-jelas tidak sekadar menyesatkan kaum Sunni tetapi mengafirkan selain golongannya, bahkan seperti di atas, ulama Syiah seakan sudah menggenggam surga dan hanya mereka yang berhak memiliki dan menikmatinya.

Karena itulah, dalam  mukaddimah 'Buku Panduan MUI' tersebut tertulis "Buku panduan ini merupakan wujud tanggungjawab dan sikap tegas MUI, dengan harapan umat Islam Indonesia mengenal Syiah dengan benar kemudian mewaspadai serta menjauhi dakwah mereka, karena dalam pandangan MUI faham Syiah itu menyimpang dari ajaran Islam, dan dapat menyesatkan umat. Hal ini tidak mungkin dibiarkan, karena bila tidak demikian, akan menimbulkan kegelisahan yang luar biasa, bahkan terjadi konflik sosial yang sulit ditemukan solusinya, sebagaimana beberapa kali terjadi di Bangil, Jember, Sampang Madura, dan beberapa daerah lainnya,".