Kontroversial Baju Bodo Adat Sulsel Dipermak, Beda Zaman Beda Tradisi? Ini Respons Budayawan
- Screenshot IG @info_kejadian_makassar
SULAWESI.VIVA.CO.ID — Viral di media sosial foto yang menampilkan model mengenakan busana khas Sulawesi Selatan, belakangan ini menjadi perbincangan hangat di media sosial, terutama Instagram.
Akun @info_kejadian_makassar mengunggah foto seorang wanita mengenakan pakaian adat Baju Bodo dan Lipa' (sarung) sabbe Sulsel dengan desain yang berbeda dari bentuk tradisionalnya.
Dalam foto tersebut, sang model tampak mengenakan atasan hijau dengan aksesoris emas mencolok, serta bawahan bercorak khas yang memiliki potongan lebih pendek dibandingkan versi aslinya.
Unggahan itu memicu reaksi warganet dan menjadi perbincangan mengenai modernisasi busana tradisional serta batasan antara inovasi dan pelestarian budaya.
Seiring berjalannya waktu, unggahan ini mendapatkan ribuan likes dan ratusan komentar. Warganet tampak terbagi dalam dua pendapat yang berbeda.
Beberapa orang mendukung adanya inovasi dalam busana tradisional, sementara yang lain merasa bahwa ada unsur pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun.
"Beredar foto model baju khas Sulawesi Selatan yang tidak seperti pada umumnya," tulis keterangan dalam unggahan tersebut, yang juga menjadi bahan pembicaraan pada Selasa (11/2/2025).
Menanggapi polemik yang muncul, pemerhati budaya, Dr. Azis Nojeng, atau yang akrab disapa Daeng Nojeng, menilai ada unsur yang menyimpang dalam tampilan busana tersebut.
Ia menyoroti cara memakai sarung yang terlalu tinggi hingga di atas lutut, yang menurutnya tidak sesuai dengan tatanan budaya asli.
"Ada yang menyimpang dari cara memakai sarung yang terlalu ke atas hingga di atas lutut," ujar Daeng Nojeng kepada media menambahkan, bahwa budaya ketimuran semakin terpengaruh oleh budaya barat, yang membuat tatanan yang ada kini banyak mengalami perubahan.
Menurutnya, meskipun baju bodo dan sarung sabbe memiliki sejarah panjang dalam budaya Sulawesi Selatan, mereka tidak terlepas dari pengaruh penjajahan.
Baju Bodo, yang pertama kali muncul pada masa penjajahan VOC/Belanda dan Portugis, memiliki bahan yang sangat tipis sehingga terlihat transparan saat dikenakan oleh perempuan pribumi.
"Namun itu bukan produk dari kita, karena awal penemuan Baju Bodo ada beberapa sumber yang menunjukkan kalau ada Baju Bodo yang terbuat dari kulit kayu, sangat tebal," paparnya.
Ia mengungkapkan bahwa perempuan Makassar sangat menjaga harga diri dan aurat mereka saat mengenakan baju bodo, bahkan berusaha agar ketiak mereka tidak terlihat oleh orang banyak.
Daeng Nojeng juga menjelaskan bahwa seiring dengan masuknya ajaran Islam, bahan Baju Bodo mulai dibuat lebih tebal agar lebih sesuai dengan norma berpakaian yang menutup aurat.
Seiring berjalannya waktu, muncul Baju Labbu yang memiliki lengan panjang, berbeda dengan Baju Bodo yang biasanya memiliki lengan pendek.
"Paling tidak perempuan ketika menggunakan baju bodo, mengenakan dalaman terlebih dahulu sehingga tidak menggambarkan aurat," lanjutnya.
Ia menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai tradisional meskipun ada perubahan zaman. Ia menyadari bahwa kulturasi budaya tidak bisa dihindari, namun ia menekankan pentingnya untuk tetap mempertahankan warisan leluhur.
Daeng Nojeng merasa heran dengan tampilan busana yang kini banyak menunjukkan pengaruh budaya asing, seperti pemendekan sarung sabbe hingga di atas lutut.
"Entahlah, apakah saya yang tidak mendapatkan sumbernya atau memang tidak pernah ada sejak dahulu, wanita Sulawesi Selatan ketika mengenakan sarung ada yang memendekkan sampai di atas lutut sehingga terlihat bahwa sarung sabbe itu seperti rok mini," cetusnya.
Di tengah kontroversi yang muncul, pihak Putri Pariwisata Sulawesi Selatan memberikan klarifikasi melalui video yang melibatkan budayawan dari Gowa.
Daeng Tika, anak dari Pasinrilik Sirajuddin Bantang, hadir dalam video klarifikasi tersebut. Menurutnya, langkah tersebut penting untuk mencegah kesalahpahaman di kemudian hari.
"Telah ada video klarifikasi, jadi saya harap ini sudah selesai," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa reaksi masyarakat yang muncul menunjukkan adanya kesadaran untuk menjaga kelestarian budaya.
Dalam klarifikasinya, pihak Putri Pariwisata Sulawesi Selatan menegaskan bahwa mereka selalu berusaha melibatkan budayawan dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan budaya lokal.
Daeng Tika menyampaikan bahwa langkah ini diambil untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam pemahaman budaya, serta untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya menjaga tradisi.
"Reaksi yang hadir juga menjadi alarm bagi kita sekiranya ada yang menyimpang, maka banyak pihak yang akan bereaksi," kuncinya.(*)