Islamophobia di Eropa dan Amerika
- Istimewa
OPINI - Di akhir pekan kemarin dilangsungkan sebuah diskusi yang membahas tentang Islamophobia di Eropa dan Amerika Serikat.
Diskusi ini menghadirkan pembicara dari dua benua, Eropa dan Amerika, sehingga disebut “Trans-Atlantic Dialogue”.
Dari US, selain saya, juga Imam Mustofa, seorang Imam di Texas kelahiran Inggris.
Dan, dari Eropa hadir sebagai narasumber, Emel El Filker, dari Jerman, dan Zara Muhamad dari Skotland, yang juga Sekjen Council of British Muslim.
Yang menarik juga adalah moderator dari diskusi ini adalah Miryam Francois, seorang TV anchor, film maker, dan aktifis dalam bidang kemanusiaan. Dia adalah seorang wanita Muslimah kelahiran Prancis yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Eropa dan Inggris khususnya.
Hampir semua pembicara sepakat bahwa Islamophobia di Barat, Eropa dan Amerika, memang nyata dan dari masa ke masa terus eksis. Dan karenanya upaya untuk menutupi kenyataan ini terus dilakukan dengan mengalihkan perhatian masyarakat dunia. Salah satunya dengan menciptakan situasi di mana masyarakat Muslim justru terperangkap ke dalam prilaku yang dianggap berbahaya dan ancaman (threat).
Menanggapi realita itu, saya kembali menekankan bahwa sesungguhnya hal terbesar yang umat Islam hadapi saat ini adalah peperangan opini. Bukan peperangan Ukrain vs Rusia.
Peperangan opini inilah yang membentuk persepsi. Dan siapa yang memenangkan peperangan ini, merekalah yang akan mengontrol “mindset” (cara pandang) manusia. Dan cara pandang inilah kemudian yang membentuk prilaku terhadap semua hal. Termasuk terhadap agama dan umat ini.
Menjawab pertanyaan moderator tentang penyebab Islamophobia, semua pembicara menyampaikan pandangan. Emel dari Jerman misalnya menegaskan bahwa Islamophobia disebabkan oleh ketidaktahuan. Mustofa dari Texas menekankan faktor sejarah, yang kemudian saya kuatkan dengan pengalaman saya sewaktu berkunjung ke 9 negara Eropa sebelum pandemi di tahun 2020 lalu.
Saya menyampaikan kasus yang saya alami di Bratislava, Ibukota Slovakia. Di kota ini, bahkan kata Turkish yang kuat dikaitkan dengan Ottoman Empire, sangat ditakuti. Sampai-sampai kopi Turki tidak boleh dinamai “Turkish Coffee”. Tapi disebut dengan “Special coffee.”
Selain faktor sejarah dan kebodohan, memang diakui bahwa Islamophobia memang menjadi kendaraan banyak kepentingan. Selain kepentingan politik, Islamophobia juga menjadi kendaraan kepentingan capital. Hal ini terlihat dengan dukungan media yang digandengi oleh pemilik modal meraup keuntungan dengannya.
Bahkan sesungguhnya Islamophobia saat ini telah berwujud bisnis dan sumber penghasilan bagi sebagian orang. Kira-kira mirip dengan jalan hidup para buzzer di negara sana.
Ada satu poin yang cukup hangat diperdebatkan dalam diskusi itu. Ketika saya ditanya tentang solusi atau cara menghadapi Islamophobia di Eropa dan Amerika, saya menekankan salah satunya dengan urgensi menjadi bagian dan berperan signifikan dalam kehidupan mainstream masyarakat.
Istilah lain dari hal ini adalah pentingnya Komunitas Muslim di Barat untuk melakukan integrasi secara positif ke dalam masyarakat dan memainkan peranan signifikan yang akan dirasakan sebagai kontribusi kepada masing-masing negara.
Kontan saja poin saya ini mendapat respons yang beragam. Ada yang mendukung tapi tidak sedikit juga yang kurang setuju. Zara dari Inggris misalnya mengatakan: “apakah kita harus membuktikan bahwa kita orang Inggris untuk dihormati?”. Ada juga yang mengkhawatirkan bahwa integrasi justru akan melemahkan keimanan dan identitas keislaman umat di Barat.
Dalam respons, saya tegaskan bahwa menjadi bahagian dan berperan aktif dalam kehidupan publik tidak harus dimaknai sebagai “asimilasi” atau lebur ke dalam masyarakat sekitar tanpa menjaga keyakinan, nilai-nilai (values) serta identitas kita sendiri. Justru yang saya maksudkan adalah “be a part of the mainstream while preserving our own particularities” (menjadi bagian dari mainstream dengan menjaga kekhususan-kekhususan kita”.
Ada dua dasar keagamaan yang mendasari poin saya di atas:
Pertama, Karakter Rasulullah SAW yang diutus dari kalangan umatnya (dialah Allah yang mengutus kepada “ummiyiin” seorang Rasul dari kalangan mereka”. Penekanan “dari kalangan mereka” menunjukkan bahwa posisi kita sebagai pelanjut risalah (Dakwah) harus menjadi bagian dari mereka.
Kedua: bahwa dengan “menjadi bagian dari mereka” akan tumbuh rasa percaya diri. Negara tempat kita berada adalah milik kita sebagaimana milik Komunitas lain. Dan ini akan menjadi penguat dalam mewujudkan karakter Umat sebagai “rahmatan lil-alamin”. Kontribusi hanya akan maksimal ketika kita merasa bagian dan pemilik dari negara di mana kita berada.
Sesungguhnya pendapat saya tersebut bukan hal baru. Seorang tokoh Musllim Eropa, Tariq Ramadan, sejak lama melemparkan hal yang sama. Bahwa untuk umat Islam Eropa (dan Amerika) harus mampu lepas dari mindset sebagai tamu di negaranya. Dan itu mengharuskan mempercepat proses integrasi di negara mana mereka berada.
Tentu diakui bahwa pandangan ini tidak jarang juga disalah pahami oleh sebagian masyarakat Muslim di Barat. Pada akhirnya yang terjadi bukan integrasi. Tapi melebur ke dalam masyarakat tanpa menjaga batas-batas yang ditetapkan oleh ajaran dan nilai-nilai agama. Karenanya, kita melihat ada orang Islam Barat yang jauh lebih liberal, baik pandangan maupun prilaku, daripada orang Barat itu sendiri.
Saya senang dan tentunya bangga telah menjadi mewakili Komunitas Muslim Amerika di acara Trans-Atlantic dialogue ini. Yang sesungguhnya bukan hal baru bagi saya. Di tahun 2007 lalu, saya menjadi salah seorang peserta dan pembicara mewakili Komunitas Muslim Amerika di acara yang sama ketika diadakan di Frankfurt Jerman.
Tentu harapannya, semoga hari ini lebih dari kemarin. Dan hari esok akan lebih baik dari hari ini. Karena Islamophobia bukan baru. Terjadi hari ini dan akan terjadi esok hingga zaman berakhir (akhir zaman).
NYC Subway, 21 Pebruari 2023
Penulis: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.