Azyumardi Azra, Syiah dan Liberalisme

DR. Ilham Kadir
Sumber :
  • Istimewa

Tulisan, tetap berkata-kata walau penulisnya telah wafat dan tertimbun di dalam tanah. "al-khat yabqa ba'da katibihi, wa katibuhu tahta al-ardhy madfun", demikian kata ahli hikmah dari Jazirah Arabiyah. Benar saja, berapa banyak filsuf, pemikir, ilmuan, intelektual, sastrawan, sejarawan hingga ulama hingga detik ini masih terus berkata-kata di hadapan kita walau telah wafat sejak ratusan bahkan ribuah tahun lalu. Tulisan memang menunjuk dan mengarahkan, mengajar dan mencerahkan, membenar dan meluruskan menasihati dan mencerahkan. Namun seringkali tulisan menjerat dan menyesatkan, menyakiti tanpa mengobati, menjebak, menyayat, lalu menyeret, dan pada tahap tertentu, tulisan mampu membunuh jiwa dan raga. Tergantung, siapa yang menulis, bagaimana tulisannya, apa niat dan motifnya. 

Para penulis dengan karya tulisnya bisa saja memiliki penilian yang berbeda, tergantung siapa pembacanya. Jika para pembaca sefikrah dengan penulis dan hasil tulisannya, tentu akan mendapat apresiasi, jika sebaliknya, maka tentu saja responnya berbeda. Ketika Anda membaca artikel ini, Anda yang setuju akan sumringah dan menilai berharga, tapi bagi yang tidak setuju mungkin jengkel dan  dianggap tidak berguna. Demikianlah yang terjadi pada guru kita semua, Prof. Dr. Azyumardi Azra rahahullah. Tulisan-tulisannya diapresiasi oleh banyak orang, namun ada pula yang menilai sebagian tulisannya dengan nada negatif.

Sebagai intelektual par excellence, banyak karya Azyumardi Azra yang berpengaruh besar. Di antaranya yang paling monumental adalah sumbangannya terhadap historiografi Islam Indonesia yang menekankan pada pendekatan sejarah total (total history), yakni suatu metode totalitas dalam memahami suatu kejadian secara lintas-waktu, lintas-kawasan dan lintas-pendekatan. Corak penulisan sejarah total ini Azra terapkan ketika meneliti ulama Nusantara yang tidak sekadar dibaca dalam konteks lokal, tapi juga dilihat dalam konteks jejaring global. Inilah sumbangsih besar Azra dalam studi sejarah Islam Indonesia pada khususnya, dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya: sebuah kontribusi abadi yang akan terus mengalirkan pahala kepada dirinya, demikian tulis Burhanuddin Muhtadi dalam "66 Tahun Azyumardi Azra: Karsa untuk Bangsa,  2022".

Ada dua hal yang dapat dijadikan rujukan dari karya-karya Azyumardi Azra: sejarah islamisasi nusantara dan pemikiran pendidikan atau pembaruan sistem pendidikan di Indonesia, kata Tiar Anwar Bachtiar. Pujian ini cukup objektif karena, Kang Tiar, dalam bukunya, "Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia: Kritik-kritik terhadap Islam Liberal, dari HM. Rasjidi Sampai INSISTS, 2017", memasukkan Azhumardi Azra di bawah mentor dan motor penggerak yaitu Dawan Raharjo sebagai sebagai bagian dari tokoh yang memasarkan paham-paham liberal melalui corong "Jurnal Ulumul Qur'an". Dan salah seorang guru dan juga teman pernah berujar pada saya, "Azyumardi Azra ketika menulis, seperti menyayat pembaca dengan silet, darah bercucuran tapi tidak terasa, bahasanya halus tapi kadang mematikan, ia liberal tapi tidak vulgar, tulisannya bisa menjerat tapi tidak terasa," tuturnya begitu.

Hubungan saya dengan Azyumardi Azra, yang kita singkat saja dengan Azra meminjam cara penulisan Burhanuddin Muhtadi, sama sekali tidak ada kecuali penulis dan pembaca. Dia adalah intelektual "paripurna" menurut Muhtadi dan dan saya hanyalah orang kampung yang sangat suka membaca dan menulis, sebab kalau tidak membaca pasti sulit menulis. Ketika kuliah jenjang doktoral di Sekolah Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun, Bogor dan menetap di Jakarta, rasanya tidak ada satu artikel Azra dalam kolom "Resonansi" di Harian Republika saya lewatkan, yang sebelum ke Jakarta pun bukunya berjudul "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 1998", sudah saya miliki dalam bentuk foto kopi dan menjadi buku wajib untuk saya jadikan referensi dalam setiap tulisan-tulisan jurnal dan karya ilmiah populer lainnya ketika mengangkat tema sejarah, buku itu, entah berapa kali saya khatamkan.

Azra bagi saya adalah intelektual serba bisa, dengan perjalanan hidupnya yang panjang dan berliku. Walau berlebihan juga jika dikatakan 'Raja Midas: apa pun disentuhnya akan jadi emas', sebagaimana pujian Muhtadi. Saya menilai bahwa Azra banyak memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia, menawarkan madu, tapi ia juga sebagai manusia biasa kerap kali memberikan 'racun' lebih khusus racun liberalisme yang telah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai aliran sesat, (Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme Agama). Karena begitu banyaknya karya-karya azra dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu humanoria, sehingga terlihat seakan memiliki kepakaran dalam berbagai pengetahuan, walau sebenarnya, kepakaran dan keahlian sesugguhnya terletak pada ilmu sejarah. Azra, menurut penilaian saya, adalah salahsatu sejarawan nusantara abad ini, ia bisa disejajarkan dengan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

Syiahisasi