Al-Qaradhawi dan Pentingnya Lembaga Zakat Negara
- Istimewa
"Zakat merupakan ibadah yang bernuansa pajak. Atau pajak yang bernuansa ibadah," Al-Qaradhawi rahimahullah.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Syekh Yusuf Al-Qaradhawi adalah manusia buku atau hidupnya penuh dengan buku: membaca dan menulis. Kabar terakhir, karyanya berjumlah 200 dan akan disatukan dalam bentuk ensiklopedi menjadi 100 jilid.
Dalam wawancara terakhirnya bersama Salman Al-Awdah, ia katakan bahwa sebagian besar hidupnya berada di perpustakaan pribadinya di Doha, Qatar. Hanya sedikit waktu untuk hak keluarganya.
"Anda melampaui zaman, anta tusaabiq al-zaman?" kata Salman Awdah. "Dan, zaman melampaui saya, wa al-zaman yusaabiquni," jawab Al-Qaradhawi. Ia mengakui bahwa sebelum ajal menjemput, ia ingin menyelesaikan ensiklopedi berisi karya-karyanya yang ia tulis sejak tahun 1959.
Dengan begitu banyak karya dari ulama polimatik, dan sebagaimana saya tulis pada artikel sebelumnya dalam rangka mengenang jasa beliau, 'fikih zakat' layak dijadikan salah satu 'magnum opus' atau karya terbesarnya, tentu saja penilaian objektif-subjektif dari saya. Objektif karena karya ini menggemparkan dunia ekonomi Islam. Subjektif karena perjalanan hidup saya merupakan bagian dari hasil ijtihad dan ide-idenya terkait pentingnya zakat diurus oleh negara.
Tulisan singkat ini memaparkan pendapat Al-Qaradhawi terkait tanggungjawab negara dalam mengumpulkan zakat yang merujuk kepada karyanya, "Musykilah al-Faqr wa kaifa 'Alajaha al-Islam". Ulama mujtahid itu menulis zakat adalah suatu kewajiban yang tegas berdasarkan ketetapan Allah dan bukan sekadar tanggungjawab yang dibebankan pada individu, dan tidak hanya ditunaikan oleh mereka yang mengharapkan balasan berupa pahala dari Allah di akhirat, tetapi diabaikan bagi mereka yang kurang yakin adanya balasan di pada hari kiamat. Zakat bukan sekadar kemurahan hati individu, melainkan suatu sistem tata sosial yang dikelola oleh negara melalui aparat tersendiri. Aparat ini mengatur semua yang terkait dengan zakat, mulai dari pengumpulan dari mereka yang wajib zakat hingga pendistribusian bagi mereka yang berhak.
Al-Qaradhawi menegaskan bahwa dalil yang paling kuat tentang pemungutan zakat harus diurus dengan petugas khusus, adalah Alqur'an surah al-Taubah ayat ke-60, yang menyebut bahwa para amil adalah bagian dari mustahik. Ayat ini diperkuat dengan ayat ke-103 juga dari surah at-Taubah yang memerintahkan untuk mengambil rela atau terpaksa harta zakat kepada para wajib zakat. Adapun dalil sunnah nabawiyah bahwa zakat dikelola oleh negara berdasar dari hadis Ibnu Abbas, ketika Nabi mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, Ia bersabda, "Beritahukan kepada mereka [penduduk Yaman] bahwa Allah mewajibkan pemungutan zakat dari orang-orang yang kaya di kalangan mereka untuk diberikan kepada orang-orang yang miskin juga dari kalangan mereka. Bila sedekah itu telah dipungut, hati-hatilah kamu terhadap kemuliaan harta itu dan hati-hati pula terhadap doa mereka yang terzalimi, karena tidak ada batas antara mereka dengan Allah, (H.R. al-Jama'ah).
Kedua dalil di atas diperkuat dengan fatwa para sahabat sebagaimana dinarasikan oleh Sahl bin Abu Shaleh dari ayahnya bahwa beliau berkata, "Harta saya sudah sampai senisab. Lalu saya bertanya pada Sa'ad bin Abu Waqas, Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Abu Sa'ad Al-Khudri, Apakah zakat itu saya bagikan sendiri atau saya bayarkan ke penguasa? Semua menganjurkan agar saya membayarkannya pada penguasa. Tidak ada seorang pun yang berpendapat lain. Dalam riwayat lain, saya katakan pada mereka, Apakah saya bayarkan kepada penguasa itu, sedangkan Anda sekalian melihat prilaku mereka [penguasa Bani Umayyah]? Semua menjawab, 'Ya, bayar pada mereka!'. (Diriwayatkan Imam Said bin Manshur).
Ibnu Umar juga pernah berkata, "Bayarkanlah zakat kalian kepada orang yang ditunjuk Allah menangani urusan kalian [pemerintah]. Siapa yang berbuat baik, hanyalah untuk dirinya sendiri dan siapa yang berbuat dosa juga akan menanggung sendiri, (Diriwayatkan Baihaqi). Riwayat Abdullah bin Umar ini diperkuat oleh Mugirah bin Syu'bah, ia mengatakan kepada sahabatnya yang mengelola hartanya di Tha'if, "Apa yang kamu lakukan terhadap zakat harta saya?", Sahabatnya itu menjawab, "Sebahagian saya salurkan langsung ke fakir miskin dan sebagian saya serahkan pada pemerintah. Mugirah kurang senang dengan cara demikian, dan kembali bertanya. "Kenapa kamu lakukan seperti itu? Dengan uang zakat yang kamu berikan langsung pada fakir miskin maka mereka akan membeli tanah dan kawin!". Sang Sahabat menjawab, "Saya berikan kepada mereka karena Rasulullah memerintahkan demikian!".
Dari berbagai keterangan dan sekaligus dalil hadis, diperkuat dengan fatwa dan amalan para sahabat Nabi tersebut, sehingga Al-Qaradhawi menyimpulkan "Menurut konsep syariat Islam, yang berhak mengelola zakat adalah pemerintah [Islam]. Pemerintah memungut dari para wajib zakat dan membagikannya kepada mustahik atau yang berhak. Sementara itu, umat Islam diminta membantu pemerintah menjalankan tugasnya mengumpulkan zakat yang pada prinsipnya mengokohkan salah satu pilar Islam, serta menguatkan Baitul Mal umat Islam.
Al-Qaradhawi melanjutkan, "Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perlu dan penting disusun rancangan anggaran pendapatan dan belanja khusus tentang zakat. Anggaran tersebut hanya dibelanjakan untuk membiayai berbagai proyek yang sudah ditetapkan, yaitu proyek kemanusiaan dan keislaman. Rancangan anggaran ini tidak boleh disatukan dengan anggaran yang bersifat khusus". Al-Qaradhawi melanjutkan, al-Qur'an Surat al-Taubah ayat ke-60, mnetapkan bahwa pengelola zakat berhak mendapat bagian dari dana zakat sebagai gajinya. Ini berarti zakat memerlukan rancangan anggaran tersendiri yang pengelolaannya dibiayai oleh dana tersebut, demikian pemahaman kaum muslimin sejak dahulu. Para pemerintah mendirikan Baitul Mal khusus untuk zakat yang dibiayai oleh dana zakat itu sendiri. Dalam negara Islam, Baitul Mal ada empat kategori. Pertama, Baitul Mal khusus zakat. Menjadi penyimpanan seluruh penghasilan berupa harta-harta dari zakat.
Baitul Mal ini memiliki sistem kerja mandiri, tugas utama para pegawainya adalah mengumpul, mengurus dan membagikan harta zakat kepada mereka yang berhak menerimanya yang sudah dibatasi penerimanya oleh syariat dengan tingkat kebutuhan yang berbeda. Ada pun Baitul Mal jenis kedua, akan mengurus jizyah dari orang-orang non Islam agar mereka terjaga dan tidak dibebani wajib militer atau tidak harus ikut berperang. Juga harta kharaj atau pajak hasil bumi yang juga diambil dari non muslim. Yang pertama adalah pajak individu agar terbebas dar ikut perang, yang kedua pajak penghasilan pertanian dan sejenisnya.
Adapun fungsi Baitul Mal ketiga adalah khusus mengelola dan menjaga harta-harta dari hasil rampasan perang. Dan guna Baitul Mal keempat adalah khusus mengelola barang-barang yang tidak bertuan dan tidak jelas pemiliknya, termasuk harta yang ditinggal mati pemiliknya dan tidak punya ahli waris.
Yang ingin kami tegaskan, lanjut Al-Qaradhawi, menurut konsep Islam, zakat bukanlah kewajiban individu yang pelaksanaannya bergantung pada hati nurani masing-masing. Zakat adalah kewajiban yang dilaksanakan di bawah pengawasan negara. Negara yang mengatur sistem pemungutan dan pendistribusiannya.
Zakat merupakan ibadah yang bernuansa pajak, atau pajak yang bernuansa ibadah. Dengan demikian keberhasilan pelaksanaannya tergantung dari dua faktor: pertama, eksternal yakni pengawasan pemerintah dan masyarakat muslim. Kedua, faktor sumberdaya para pengelola [amil] yang berpusat pada kualitas pribadi seorang muslim, ilmu dan iman, dengan itu pengelola zakat terus mengharap rahmat dan karuni Allah serta takut akan siksa-Nya.
Al-Qaradhawi memperkuat argumennya dengan mengangkat kisah Abu Bakar. Jika saja dalam usaha menjaga hak kaum miskin tidak mau mencontoh Khalifah Abu Bakar dengan cara mengambil zakat secara paksa dari mereka yang enggan mengeluarkannya, maka nasib kaum papa menjadi tidak menentu. Mereka hanya bergantung pada jaminan hati nurani yang mengharap imbalan dari Allah atau karena takut siksa-Nya, nasib mereka hanya terpulang pada keimanan orang kaya.
Terakhir, menurut Al-Qaradhawi, ada empat faktor inti, mengapa zakat harus diurus oleh pemerintah dengan lembaga otonom. Pertama. Jika kaum miskin mengambil haknya dari [lembaga zakat pemerintah] bukan dari orang kaya, maka kehormatan dan martabat mereka tetap terjaga. Ia terhindar dari perkataan menyakitkan dari orang kaya atau pemberi.
Kedua, apabila pengeloaan zakat diserahkan pada orang banyak, maka pendistribusiannya akan kacau-balau. Boleh jadi orang kaya menyalurkan hartanya pada fakir miskin, tetapi hanya sekelompok kecil, dan mengabaikan fakir miskin lain yang lebih membutuhkan.
Ketiga, pendistribusian zakat bukan hanya untuk golongan fakir miskin atau orang kehabisan bekal dalam perjalanan. Ada pihak lain yang berhak menerima zakat demi kemaslahatan umum, seperti muallaf, mereka yang mempersiapkan kekuatan untuk jihad, dan mereka yang menyiapkan para dai dan kebutuhan mereka dalam rangka penyebaran risalah Islam.
Keempat, Islam adalah pedoman penyelenggaraan agama dan negara. Negara butuh dana untuk menjalankan berbagai fungsinya. Zakat adalah sumber dana terpenting dalam mengisi anggaran belanja negara.
Apa yang digagas Al-Qaradhawi di atas, sudah menjadi kenyataan di berbagai belahan dunia yang mengelola zakat secara profesional, termasuk di Indonesia, lebih khusus setelah terbentuknya Badan Amil Zakat Nasional, atau BAZNAS, yang diperkuat legitimasinya dengan Undang-Undang pengelolaan zakat nomor 23 tahun 2011 yang mewajibkan agar para amil membuat perencanaan, melaksanakan perencanaan, melakukan pengendalian atas peaksanaan, hingga evaluasi perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Seluruh program dituangkan dalam RKAT atau Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan.
Bahkan, di Aceh, benar-benar mengadopsi seratus persen apa yang dicanangkan Al-Qaradawi dengan menggunakan istilah Baitul Mal yang berfungsi sebagai bagian dari Pendapatan Asli Negara atau PAD.
Walaupun dengan menjadikan BAZNAS sebagai lembaga negara nonstruktural tetap merujuk pada ide-ide awal Al-Qaradhawi agar zakat dikelola oleh negara, karena Pimpinan BAZNAS dari pusat hingga daerah merupakan bagian dari pemerintahan. Dan yang terpenting, saat ini pemerintah telah menyadari pentingnya keberadaan lembaga negara atau swasta yang benar-benar profesional mengelola zakat.
Kini, keberadaan BAZNAS telah menunjukkan hasil yang signifikan, khususnya membantu pemerintah dalam menangani masalah kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dakwah, hingga bencana. Umat Islam berutang kebaikan pada Al-Qaradhawi, lebih khusus kepada para amil. Rahumahullah rahmatan wasi'ah.
Enrekang, 1 Oktober 2022.
Penulis: DR. Ilham Kadir, MA., anggota Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia; Alumni Kaderisasi Seribu Ulama BAZNAS RI.