Kebangkitan dan Jati Diri Umat
Berabad-abad sebelum lahirnya Muhammad Shallallahu 'alahi Wassalam, Nabi dan Rasul terakhir ke dunia ini, Barat (baca Yunani) dan Timur (baca Persia) telah banyak melahirkan filosof-filosof karya-karya besar pada masanya.
Keduanya, bahkan merupakan bangsa adidaya (super power) yang sangat berkompetisi. Menang-kalah dalam peperangan di antara mereka silih berganti.
Dalam situasi itulah Rasulullah diutus dengan ajaran yang universal “laa syarqiyah wa laa ghorbiyah”. Bahwa ajarannya tidak terdefenisiikan oleh batas geografis, barat atau timur. Dan yang lebih penting ajaran itu bukan hadir untuk meniru yang dianggap pada masanya.
Bahkan di atas dari semua itu dunia menilai peradaban identik dengan peradaban Yunani (Greek Civilization) di Barat. Dan peradaban Persia (Persian Civilization) di Timur. Arab sendiri dianggap bangsa yang tiada peradaban.
Hebatnya, Rasulullah pun hadir dengan peradaban pertama yang paling universal dan kokoh. Dan uniknya adalah dalam proses menghadirkan peradaban itu Rasulullah Shallallahu 'alahi Wassalam tidak meniru-niru kreasi Barat (Yunani) atau pun Timur (Persia) yang dianggap hebat di zamannya.
Pelajaran terpenting dari cuplikan sejarah ini adalah bahwa tidak mungkin untuk umat ini bangkit jika masih memiliki rasa minder (inferiority complex). Dan, dalam proses kebangkitannya, umat ini tidak pernah kuat dengan belas kasih orang lain, baik dari Barat maupun Timur.
Umar Ibnu Khattab pernah menegaskan: “Sungguh Allah telah memuliakan kita dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan tanpa Islam, Allah akan menghinakan kita kembali”.