Tawaf, Sa’i dan Kehidupan Dunia
Belakangan di tempat keluarnya air itu terwujud sebuah sumur yang dikenal sumur ”zamzam”. Sebuah mata air yang mukjizat. Hajar pun ruang dan bersujud syukur dengan karunia Allah itu.
Itulah selintas latar belakang historis dari sa’i yang hingga kini menjadi sebuah ritual baku dalam Islam. Sebuah praktek yang sekaligus membuktikan jika Islam bukan inovasi baru, bukan ciptaan Muhammah shallallahu 'alaihi wassalam.
Sa’i dimulai dari arah bukit Sofa dengan melambaikan tangan ke arah Ka’bah dan membaca: ”Bismillah Allahu Akbar”. Lalu membaca ayat: ”innasshofa walmarwata min sya’arillah. Faman hajjal awi’tamara falaa junaaha alaihi an yatthowafa bihima. Waman tathowwa’a khaeran fahuwa Khaerun lahu. Innallaha syaakirun aliim”.
Mulailah berjalan hingga di antara dua lamp hijau di dinding. Pada batas ini pria yang sa’i (wanita tidak) disunnahkan ”harwalah” atau lari-lari kecil sambil membaca: ”Laa ilaaha illallahu shodaqa wa’dahu, wanashora abdahu, wa aazza jundahu, wa hazamal ahzaaba wahdahu”.
Setelah selesai lampu hijau kembali berjalan normal hingga menaiki bukit Marwa seraya kembali membaca ayat yang dibaca di Sofa (innasshofa.min sya’arillah...dst..). Lalu berbalik ke arah Sofa seraya angkat tangan ke arah Ka’bah sambil membaca seperti di away di bukit Sofa (Bismillah Allahu Akbar).
Demikian dilakukan hingga tujuh putaran yang nantinya akan berakhir di bukit Marwah.
Satu hal yang meringankan para jamaah yang sa’i bahwasanya wudhu tidak disyaratkan. Walaupun para ulama kita menganjurkan untuk melakuian sa’i dalam keadaan suci (wudhu).