Wayang Potehi, Warisan Budaya Tionghoa yang Tetap Hidup di Tangan Seorang Mualaf di Gowa
- Sulawesi.viva.co.id
SULAWESI.VIVA.CO.ID -- Momen perayaan Imlek tak hanya menjadi ajang kumpul keluarga bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga waktu yang tepat untuk membangkitkan kembali berbagai seni budaya tradisional.
Salah satu seni yang ikut memeriahkan perayaan ini adalah wayang potehi, sebuah seni pertunjukan boneka khas Tionghoa yang sudah ada sejak abad ke-17.
Wayang potehi memiliki sejarah panjang. Seni ini masuk ke Indonesia pada 1600 masehi dan menjadi bagian penting dalam perayaan budaya Tionghoa. Namun, di tengah perkembangan zaman dan perubahan minat generasi muda, keberadaan wayang potehi perlahan mulai terlupakan.
Meski begitu, semangat melestarikan warisan ini tetap dijaga oleh seorang budayawan Tionghoa peranakan bernama Moehammad David Aritanto, yang kini menetap di Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
David, yang kini seorang mualaf, dikenal sebagai penjaga seni wayang potehi di Sulawesi Selatan. Ia tetap konsisten menjaga warisan budaya leluhurnya meskipun telah memeluk Islam.
"Wayang potehi sebenarnya tidak lenyap, tetapi dia memerlukan perhatian dan biaya besar. Satu kali pertunjukan membutuhkan perlengkapan yang sangat banyak, termasuk panggung, alat musik, dan boneka."Jelas David. Selasa (28/01/2025).
"Setiap karakter wayang bahkan harus dibuat dalam beberapa versi untuk menggambarkan emosi seperti marah atau tertawa," Sambungnya.
Di rumah David, berbagai perlengkapan wayang potehi masih terjaga dengan baik. Boneka-boneka kayu yang dihias kain khas kerajaan Tiongkok abad ke-17, lengkap dengan alat musik tradisional seperti piak-kou (gitar khas Tiongkok), menjadi bagian dari koleksinya. Dalam setiap pertunjukan, sang dalang memasukkan tangan ke dalam boneka kain dan memainkannya menggunakan tiga jari, diiringi musik tradisional.
Namun, David mengakui bahwa melestarikan seni ini tidaklah mudah. Biaya produksi yang tinggi dan kurangnya minat dari generasi muda menjadi tantangan utama.
"Biasanya, wayang potehi dimainkan menjelang Imlek, tapi kini jarang ditampilkan. Teknologi modern membuat generasi muda kurang tertarik dengan seni tradisional seperti ini," Ungkapnya.
Meskipun begitu, David tetap optimis dan berharap ada generasi baru yang memiliki semangat untuk menjaga seni ini.
Ia mencontohkan kondisi di Jawa, di mana pemain wayang potehi justru banyak berasal dari masyarakat lokal, bukan keturunan Tionghoa.
"Di Jawa, teman-teman yang tergabung dalam paguyuban wayang potehi kebanyakan bukan keturunan Tionghoa, tetapi mereka punya animo besar untuk melestarikan seni ini. Saya berharap di Sulawesi Selatan juga bisa seperti itu," Ungkit Pria Tionghoa yang kini menjadi mualaf.
Wayang potehi sendiri berasal dari kata "pou" yang berarti kain, "te" yang berarti kantong, dan "hi" yang berarti wayang. Secara harfiah, potehi bermakna wayang boneka dari kantong kain.
"Seni ini bukan hanya hiburan, tetapi juga media penyampaian cerita yang sarat nilai moral dan budaya."Pungkasnya.
Bagi David, menjadi mualaf tidak menjadi penghalang untuk mempertahankan warisan budaya leluhurnya.
"Saya memandang budaya sebagai identitas dan kekayaan yang harus dijaga, apapun agama yang kita anut."Ujarnya.
"Melestarikan wayang potehi adalah cara saya menghormati warisan leluhur sekaligus memperkenalkan nilai-nilai universal yang ada dalam seni ini kepada generasi muda,"Tambah David.
Keberadaan wayang potehi di Sulawesi Selatan kini memang semakin langka. Namun, berkat dedikasi dari sosok seperti David, seni ini tetap hidup dan menjadi pengingat akan kayanya budaya yang dimiliki Indonesia.
Momen Imlek, bagi David, bukan sekadar perayaan, tetapi juga panggung untuk menyuarakan pentingnya menjaga tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi