315 Kasus Sepanjang 2024, LBH Makassar : 192 Diantaranya Adalah Pelanggaran HAM

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar
Sumber :
  • Istimewa

SULAWESI.VIVA.CO.ID -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat telah menerima 315 permohonan bantuan hukum sepanjang 2024. Dari jumlah tersebut ada 192 kasus yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.

Dugaan Netralitas Pilkada, Bawaslu Provinsi Sulsel dan Kabupaten Jeneponto Disidang DKPP

Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar, Muhammad Ansar, menyebutkan bahwa kasus-kasus yang paling signifikan antara lain kekerasan terhadap perempuan, perampasan tanah, perburuhan, kekerasan terhadap anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelanggaran prinsip fair trial, pembatasan kebebasan berekspresi, dan kekerasan oleh aparat.

"Dari 315 kasus ini, ada 192 berdimensi struktural. Beberapa kasus signifikan lainnya antara lain kekerasan terhadap perempuan sebanyak 72 kasus, perampasan tanah 21 kasus, kekerasan terhadap anak 19 kasus, perburuhan 17 kasus, KDRT 15 kasus, fair trial 14 kasus, kebebasan berekspresi/berpendapat 7 kasus, dan 5 kasus kekerasan fisik oleh aparat," ujar Ansar.

Janji Menikah Ditagih, Taruna  Pelayaran Aniaya Perempuan di Makassar

Ansar juga mengungkapkan bahwa pelanggaran HAM mengalami peningkatan setiap tahun dari 2020 hingga 2024, meskipun pada 2022 sempat terjadi penurunan. 

"Dari 2023 Hingga ke 2024 angka pelanggaran HAM melonjak dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya penurunan kualitas demokrasi dan penegakan HAM, khususnya di Sulawesi Selatan," jelasnya.

55 Kasus Kekerasan Seksual di 2024, LBH Makassar: 2 Yang Lanjut Kepengadilan

Dia menjelaskan bahwa pelanggaran HAM tercermin dalam berbagai bentuk, seperti pembubaran aksi demonstrasi, penggunaan kekuatan berlebihan dalam menangani aksi, pembungkaman jurnalis kampus, pembatasan ruang akademik, penangkapan sewenang-wenang, perampasan lahan petani, penerbitan izin tanpa memperhatikan lingkungan hidup, serta hilangnya ruang aman bagi perempuan dan anak.

Ansar bahkan menyebutkan bahwa lembaga-lembaga negara yang seharusnya melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM, serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, justru menjadi pelaku atau membiarkan pelanggaran terjadi. 

"Tidak hanya dalam pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat, keberadaan aparat keamanan—baik Polri maupun TNI—dalam konflik sumber daya alam justru memperburuk pelanggaran HAM," tegasnya.

Ansar juga menyoroti ketidakresponsifan birokrasi kampus yang menyebabkan hilangnya ruang aman bagi mahasiswa dari ancaman kekerasan seksual di perguruan tinggi.

"Lembaga-lembaga negara yang dimandatkan konstitusi untuk melindungi dan memenuhi HAM, serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, malah menjadi pelaku. Situasi ini menjadi tantangan berat dalam penegakan HAM dan demokrasi ke depan," tambahnya.

Dia juga menyatakan bahwa Indonesia, khususnya Sulsel, kini dihadapkan pada momen krusial dalam menangani tantangan penegakan HAM dan demokrasi. 

"Bagaimana negara ini menghadapinya akan menentukan arah masa depan politik dan sosial kita. Apakah Indonesia akan kembali menjunjung tinggi hak-hak warganya, atau terjerumus ke dalam otoritarianisme yang merusak sendi-sendi negara demokrasi?" kata Ansar.

"Waktu yang akan memberikan jawabannya. Yang jelas, perhatian terhadap isu-isu ini tidak dapat ditunda lebih lama lagi," tandasnya.