Pengentasan Kemiskinan dalam Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi
- Istimewa
Seperti telah saya lukiskan bahwa Al-Qaradhawi adalah ulama polimatik sehingga semua karyanya, yang berjumlah 200 itu, ditulis dengan kaya referensi, analisa yang tajam, tekstual-kontekstual, ma'tsur wa ma'qul. Salah satu karyanya yang paling fenomenal adalah disertasinya ketika menyelesaikan doktoral di Universitas Al-Azhar, Mesir dengan judul "Fiqh al-Zakah", atau "Fikih Zakat".
Penelitian ini ia pertahankan di depan promotor dan penguji pada tahun 1973, dalam sejarahnya, inilah karya Al-Qardhawi yang terlama ia garap, yakni 13 tahun, padahal rencana awalnya hanya 2 tahun, hal ini terjadi karena pada waktu yang sama Al-Qaradhawi menjabat berbagai jabatan strategis di berbagai negara terkait dengan pengembangan keilmuan.
Pada tahun 1977, Al-Qaradhawi menerbitkan buku sederhana, versi lain, buku ini terbit tahun 1966, jika ditelaah lebih dalam dan saksama dengan tempo singkat, buku ini hanya serpihan-serpihan dari disertasinya "Fiqh al-Zakah". Buku mungil ini ia tulis dengan judul "Musykilah al-Faqr wa kaifa 'Alajaha al-Islam, Cetakan pertama oleh Maktabah Wahbah, Cairo 1977, jika diterjemahkan secara etimologi "Masalah Kemiskinan dan Bagaimana Islam Mengatasinya?".
Penerjemah buku ini, Syafril Halim memberi judul "Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan", diterbitkan oleh Gema Insani Press, cetakan perdana Indonesia naik catak pada tahun 1995. Buku ini juga jarang dibahas dan dijadikan rujukan para penggiat ekonomi Islam khususnya zakat, infak, dan sedekah sebab dianggap terwakilkan dari kitab "Fiqh al-Zakah". Dalam edisi Indonesia, buku ini setebal 187 halaman, dalam versi Arab hanya 160, terdiri dari lima bab.
Didahului dengan bab pertama "Sikap Manusia Terhadap Kemiskinan", bab kedua "Pandangan Islam terhadap Kemiskinan", bab ketiga "Berbagai Sarana untuk Menghapus Kemiskinan", bab keempat "Persyaratan Mutlak" dan bab kelima "Kemenangan Islam atas Kemiskinan". Di antara lima bab ini, saya hanya akan mengulas bab kedua, lebih khusus lagi pada sub bab kedua yakni, 'Tanggungjawab Negara dalam Mengunpulkan Zakat', pada sub ini terdapat lima poin penting yang dipaparkan Al-Qaradhawi dengan runut bahwa negara wajib menjadi amil, atau mendirikan lembaga zakat dengan berlandas pada dalil ayat al-Qur'an, Sunnah Nabawiyah, Fatwa Para Sahabat. Selain itu wajib pula paham 'Berbagai Rahasia Zakat', dan 'Batul Mal Zakat'.
Al-Qaradhawi menulis, Manusia bukanlah pemilik harta secara hakiki. Ia sekadar dipercaya oleh pemilik yang asli yakni Allah ta'ala, manusia hanya sebagai sekadar penerima titipan. Ia telah menciptakan dan membagikan harta kepada segenap umat manusia, maka manusia wajib mematuhi perintah Sang Pemilik dan Pemberi rezeki dengan menafkahkan sebagian harta miliknya, sedikit ataupun banyak. Zakat merupakan kewajiban yang telah ditetapkan Allah untuk orang-orang miskin dan mereka yang berhak menerimanya. Karena itu, kewajiban ini tidak gugur dengan melalaikannya selama setahun atau lebih. Imam Syafi'i melihat--lanjut Al-Qaradhawi--bahwa zakat adalah satu kewajiban yang berhubungan dengan materi harta tersebut. Pemilik harta tidak boleh mengutak-atiknya.
Orang miskin dianggap berserikat dengan pemilik harta itu dan memiliki hak seukuran zakat. Kalau si pemilik menjual harta zakat yang sudah lewat satu tahun sebelum mengeluarkan zakatnya, maka batallah jual belinya yang seukuran zakat tersebut. Walau orang miskin meninggal dunia sebelum ia menerima zakat, bagiannya diserahkan kepada ahli waris si miskin.