55 Kasus Kekerasan Seksual di 2024, LBH Makassar: 2 Yang Lanjut Kepengadilan

55 Kasus Kekerasan Seksual Tahun 2024, Hanya 2 Yang Lanjut
Sumber :
  • Istimewa

SULAWESI.VIVA.CO.ID -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat 55 kasus kekerasan seksual yang ditangani sepanjang 2024.

BNNP Sulsel Bantah Adanya Tindakan Kekerasan Atas Kematian Bripka Arham Nurdin

Kasus-kasus tersebut meliputi kekerasan seksual berbasis elektronik, perkosaan, persetubuhan, dan perbuatan cabul terhadap anak-anak.

"Korbannya merupakan anak-anak, perempuan dewasa, dan disabilitas," ungkap Koordinator Divisi Bidang Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar, Ambara Dewita Purnama.

315 Kasus Sepanjang 2024, LBH Makassar : 192 Diantaranya Adalah Pelanggaran HAM

Katanya, Jumlah kasus ini mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2023, hanya ada 20 kasus, sedangkan di 2024 tercatat 55 kasus.

"Untuk kasus persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak ada 33 korban, mendominasi kasus kekerasan seksual di tahun 2024," kata Ambara saat rilis catatan akhir tahun LBH Makassar, Jumat (27/12/2024).

Dianiaya Dalam Pesantren, Santri Di Bulukumba Pilih Lapor Polisi

Sementara itu, kasus kekerasan seksual berbasis elektronik tercatat lima korban, dan perbuatan cabul serta pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan tak diinginkan mencapai 20 korban.

Dari 55 kasus ini, ada dua yang sudah divonis pidana berdasarkan Pasal 6 c UU TPKS. Kasus pertama melibatkan Briptu Sanjaya, anggota Polda Sulsel, yang melakukan kekerasan seksual terhadap tahanan perempuan di Dittahti Polda Sulsel, dengan vonis 3 tahun penjara.

"Serta 1 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Calon Legislatif di Kabupaten Luwu terhadap perempuan disabilitas intelektual dengan vonis pidana penjara 7 tahun dan denda Rp 20.000.000,- subsidair pidana penjara 2 bulan," tuturnya.

Namun, dari 55 kasus kekerasan seksual yang ditangani LBH Makassar, hanya 2 yang sampai ke pengadilan.

"Ada yang didamaikan, ada yang kasusnya berhenti di tahap kepolisian, dan ada juga yang diancam jika laporan tetap dilanjutkan," ujar Ambara.

Dia juga menyoroti kekerasan seksual berbasis elektronik yang sering kali membuat korban rentan terkriminalisasi.

"Korban rentan dikriminalisasi. Modus yang dipakai polisi menolak laporan korban karena dianggap korban juga menikmati pada saat videonya direkam oleh pelaku," katanya.

Ambara juga menyinggung adanya kekerasan seksual di kampus Unhas dan UIN Alauddin Makassar.

"Kalau di Unhas pemantauan, di UIN Alauddin ada 2 kasus. Pertama pelakunya dosen, kedua pelakunya mahasiswa, korbannya anak-anak," tandasnya.

Ambara mengungkapkan bahwa banyak kendala dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Salah satunya adalah penyidik yang jarang menerapkan UU TPKS, karena dianggap sulit dan memakan waktu.

"Biasanya kalau korbannya anak, cuman pakai UU perlindungan anak," kata Ambara.

Padahal, menurutnya, UU TPKS sebenarnya sudah mencakup dan lebih mudah diterapkan, dengan hanya membutuhkan satu alat bukti, misalnya pengakuan korban.

"Karena faktor kebiasaan dari kepolisian yang biasanya membutuhkan dua alat bukti, sekarang cuma butuh satu alat bukti. Yang ribetnya karena hanya berdasarkan keterangan dari korban itu sudah bisa ditindaklanjuti, mungkin di situ kendalanya," tambahnya.

Ambara juga menjelaskan bahwa rata-rata usia korban kekerasan seksual adalah antara 4 hingga 18 tahun untuk anak-anak, dan 19 hingga 45 tahun untuk dewasa.

Pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak biasanya adalah orang terdekat, seperti ayah tiri, paman, tetangga, hingga guru sekolah.

"Yang paling kita soroti itu yang di SLB Laniang Siswi Disabilitas. Alhamdulillah kasusnya ada peningkatan ke P21, makanya kita akan kawal lagi," tutup Ambara.